Nyawa Jenderal Kopassus Ini Bakal Melayang Jika 1 Menit Terlambat Pindah Tempat saat Operasi Timtim
Operasi Seroja di Timor Timur (Timtim) yang kini bernama Timor Leste masih membekas dalam ingatan Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam operasi itu, nyawa Jenderal Kopassus ini nyaris melayang jika saja terlambat pindah tempat.
Peristiwa yang nyaris merenggut nyawa Luhut tersebut terjadi ketika lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) 1970 ini diterjunkan ke daerah operasi di Dare, dekat Kota Dili bagian selatan.
Dikutip dari buku “Kopassus untuk Indonesia” diceritakan, Luhut yang kala itu masih berpangkat Letnan Satu (Lettu) dan menjabat sebagai Komandan Kompi A ditugaskan untuk merebut daerah Dare termasuk Aileu, dan membantu Batalyon 406 yang terjepit oleh Tropas kelompok bersenjata Fretilin.
Pada 9 Desember 1975, pria kelahiran Toba Samosir, Sumatra Utara pada 28 September 1947 ini bersama pasukannya kemudian diberangkatkan dengan menggunakan pesawat menuju daerah sasaran di Bacau. Bersama pasukannya, Luhut terlibat pertempuran sengit dengan kelompok bersenjata Fretilin.
”Kita diterjunkan di Bacau, terus merebut dan membersihkan Bacau. Kemudian, dari Bacau saya dievakuasi lagi ke Dili karena dianggap masih segar. Itulah yang kemudian menjadi engine-nya Grup 1 atau Detasemen waktu masuk di Aileu, masuk ke Dare, Masuk Besilau dan sebagainya,” ujarnya, Minggu (14/1/2024).
Saat memasuki daerah Dare, Jenderal Kopassus yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) ini kembali terlibat baku tembak dengan musuh.
”Suatu ketika saya di daerah Dare, dekat Dili selatan itu tembakan ramai sekali. Saya membungkuk, saya lari maju ke tempat lain, ada orang TBO (tenaga bantuan operasi) yang bantu saya, lari ke tempat saya itu, itu 1 menit tak, tuk, tak pas kena kepalanya mati. Jadi kalau saya tidak pindah satu menit yang lalu, saya yang mati,” kenangnya.
Bukan hanya itu, maut juga nyaris merenggut nyawa mertua Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak saat merebut daerah Aileu. Meski berhasil menduduki Aileu, bukan berarti Luhut dan pasukannya dalam keadaan aman. Ancaman serangan dari kelompok bersenjata Tropas yang merupakan pasukan elite Fretilin ini masih bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Hal itu perlu diwaspadai Luhut, mengingat Tropas memiliki motivasi tinggi, kemampuan menembak, dan menguasai medan dengan sempurna. Bila pertempuran di tanah datar Kopassus lebih unggul namun bila di medan perbukitan Fretilin mampu memanfaatkan alam dengan optimal.
Tropas merupakan pasukan elite untuk penyerbuan infanteri. Para prajurit Tropas adalah tentara yang dilatih sesuai dengan standard NATO. Mereka telah berpengalaman berperang di Mozambique dan Angola. Mereka mempunyai kemampuan tempur, menggunakan perlindungan, memanfaatkan medan dan menyusun pertahanan dengan baik.
“Terbukti ketika TNI mendarat di Dili, banyak yang gugur dengan tembakan di dada dan kepala. Bukan karena berondongan senapan otomatis melainkan dengan ketepatan membidik,” ujarnya.
Saat tengah mempertahankan daerah yang direbutnya, Luhut yang memiliki kode panggilan “Harimau” mendapat telepon dari Asisten Operasi Mabes ABRI Kolonel M. Sanif yang saat itu menjabat sebagai Panglima Operasi dan memiliki panggilan “Paul”. “Harimau!, Ini Paul!” kata Sanif “Siap Harimau di sini,” jawab Luhut.